Kabar soal memburuknya keuangan Amerika Serikat ternyata jauh lebih buruk dari yang dibayangkan, Founders! Hal ini terlihat dari jumlah uang tunai yang ada di Departemen Keuangan AS.
Menurut informasi, jumlah uang yang tersimpan di badan milik negara itu telah jatuh ke tingkat yang sangat rendah karena Washington menunggu sampai menit terakhir buat menaikkan plafon utang.
Data federal melaporkan kalau per 25 Mei, Departemen Keuangan ini cuma punya $38,8 miliar USD dalam bentuk tunai. Jumlah tersebut terjun lebih dari $200 miliar USD awal bulan Mei. Parahnya lagi, angka itu telah mendekati tingkat minimum $30 miliar USD.
Dibandingkan kekayaan bersih para miliarder di Negeri Paman Sam, berdasarkan catatan Bloomberg Index, jumlah uang tunai tersebut pun jauh lebih rendah.
Beberapa dari miliarder AS ini, seperti bos fashion mewah LVMH Bernard Arnault dengan kekayaan bersih mencapai $193 miliar USD, bos Tesla Elon Musk dengan $185 miliar USD, dan founder Amazon Jeff Benzos yang punya harta $144 miliar USD.
Selain mereka itu, ada pula deretan nama crazy rich yang punya kekayaan bersih melebihi uang tunai Amerika Serikat. Di antaranya Michael Dell, investor Warren Buffett, salah satu pendiri Facebook Mark Zuckerberg.
Di sisi lain, Presiden Joe Biden dan Ketua DPR Kevin McCarthy bersepakat untuk menangguhkan plafon utang yang saat ini senilai $31,4 triliun USD hingga 1 Januari 2025 nanti.
Akan tetapi, Menteri Keuangan Yanet Yellen punya pendapat sendiri, nih! Katanya, kalau pemerintah nggak cepat-cepat menaikkan plafon utang pada 5 Juni mendatang, maka nggak bakal ada cukup dana buat membayar semua utang negara secara penuh dan tepat waktu.
Sebagai informasi, negara yang dikenal berkuasa sedunia ini kenyatannya juga ngutang ke negara lain. Beberapa negara pemberi utang terbanyak ke AS, antara lain Jepang, Inggris, hingga rivalnya sendiri, China.
Kalau peringatan dari Menteri Keuangan Yellen benar terjadi, risiko mengerikan yang mungkin dirasakan Indonesia adalah aliran modal keluar (capital outflow) secara besar-besaran karena investor kabur dari negara berkembang. Hal ini tentu berimbas ke PHK massal.
Baca juga: Perusahaan Paling Besar di Amerika Serikat