Belakangan ini, Tiktok mendapat kecaman sehubungan dengan kekhawatiran bahwa data penggunanya dapat diambil alih oleh pemerintah China. Akibatnya, media sosial milik ByteDance ini terus menghadapi pemblokiran, mulai dari Amerika Serikat, Inggris, hingga meluas ke Uni Eropa.
Padahal sebelumnya, pada 2020, Tiktok telah bernegosisasi dengan Komite Penanaman Modal Asing di Amerika Serikat (CFIUS) dan menghabiskan lebih dari $1,5 miliar USD untuk memperketat keamanan data.
Kalau resmi diblokir, Tiktok berpotensi kehilangan pendapatan iklan di AS hingga $6,83 miliar USD setara Rp 103 triliun (kurs Rp15.169 per USD) di tahun ini. Jumlah ini itu tentu berkembang pesat dari tahun 2020 yang hanya $780 juta USD.
Selain itu, larangan Tiktok di negara-negara besar tersebut tentu menjadi malapetaka bagi para content creator dan influencer yang telah membangun bisnis dari Tiktok. Sejauh ini, sekitar 100 juta warga AS merupakan pengguna Tiktok dan beberapa di antaranya adalah content creator.
Di sisi lain, larangan Tiktok akan menjadi keuntungan besar bagi pesaing utama platform China ini, seperti Instagram, Facebook, dan Youtube. Khususnya Facebook yang beberapa tahun terakhir lesu akibat kemunculan Tiktok.
Kabar soal Tiktok pun langsung disambut oleh investor di bursa saham. Saham Meta, perusahaan induk Instagram ini dikabarkan melejit setelah terus-terusan merosot dalam beberapa hari terakhir. So, Tiktok dilarang, Mark Zuckerberg hepi, nih?
Baca juga: 30 Hari untuk Anggota Pemerintah Amerika Serikat Hapus Tiktok!